Senin, 07 Maret 2016

DEWATA NAWA SANGA

Nawa Dewata atau Dewata Nawa Sanga adalah sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Diagram matahari bergambar Dewata Nawa Sanga ditemukan dalam Surya Majapahit, lambang kerajaan Majapahit.



Wisnu
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", warnanya Hitam, di Bali beliau dipuja di Pura Batur.

Sambhu
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", warnanya Biru, di Bali beliau dipuja di Pura Besakih.

Iswara
Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", warnanya Putih, di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.

Maheswara
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", warnanya Dadu, di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah.

Brahma
Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", warnanya Merah, di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa.

Rudra
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", warnanya Jingga, di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu.

Mahadewa
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", warnanya Kuning, di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru.

Sangkara
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", warnanya Hijau, di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu.

Siwa
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", warnanya Pancawarna, di Bali beliau dipuja di Pura Pusering Jagat.


Jumat, 26 Februari 2016

PIS BOLONG KOCI

Kata kuci atau koci yang dikenal dalam bahasa Bali menurut Van der Tuuk berasal dari bahasa Cochin China (vietnam), tapi di beberapa daerah di Bali pis bolong koci juga di sebut dengan nama pis Jepun. Ciri-cirinya jenis pis bolong koci tidak terdapat huruf pada permukaan belakangnya tapi kadang-kadang ada hurufnya ( dari pengalaman ), agak kecil dari biasanya dan kadang menggunakan pinggiran kadang tidak. Lubang tengahnya berbentuk bujur sangkar. Pis koci ini di produksi pada waktu zaman Majapahit.Pis Bolong Koci lebih banyak digunakan untuk sarana upakara, terutama sebagai bahan untuk membuat arca pemujaan yang di sebut RAMBUT SEDANA. Dan di temukan juga jenis pis bolong koci yang pada permukaan belakangnya tercetak gambar tokoh-tokoh yang berwatak kebenaran dari tokoh-tokoh dunia pewayangan baik Ramayana, Mahabrata dan Bratayudha. Uang kepeng jenis ini oleh pemiliknya dianggap memiliki kekuatan gaib dan disebut PIS JIMAT.

Beberapa koleksi pis bolong koci dapat di lihat di Gallery Pis Bolong Koci dan di bawah ini uraian beberapa jenis pis bolong koci beserta kegunaan nya : 

Pis Bolong Koci Arjuna
Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.

Pis Bolong arjuna : 
Pis Bolong bergambar Arjuna ini dipercaya bisa digunakan untuk memikat gadis yang menjadi incaran sang pemuda. Dengan simbol sang Arjuna ini diyakini akan dapat memanah Jantung Asmara sang gadis.

Pis Bolong Koci Kresna
Kresna adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.

Pis Bolong Kresna : 
fungsi pis bolong Kresna adalah sebagai penuntun ke arah kebajikan dan kebijakan. Dipercaya juga bahwa orang yang menjadikan pis Kresna sebagai jimat akan memiliki sifat-sifat mulia seperti selalu berpihak pada kebenaran, jujur, dan selalu menegakkan keadilan. Oleh karenanya benda ini sangat cocok dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pis Bolong Koci Bima
Bima atau Bimasena adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Pis Bolong Bima : 
Pis Bolong Bima memiliki kekuatan gaib yang pada intinya menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Oleh karenanya, pis Bima sangat cocok dimiliki oleh orang yang mengemban tugas sebagai Pecalang. Di samping itu, bagi orang yang menjadikan pis Bima sebagai jimat akan menjadikan dirinya tangkas dan mahir dalam berperang. Begitu pula halnya dengan pis Anoman, keistimewaannya adalah mampu memberikan kekuatan dan tenaga seperti angin kepada orang yang membawanya.

Pis Bolong Koci Panca Pandawa
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti anak Pandu (Yudistira,bima,Arjuna,Nakula &,Sadewa), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.

Pis Bolong Panca Pandawa : 
Pis Bolong Panca Pandawa dinamakan demikian, karena pada permukaan trep terdapat gambar dari kelima ksatria putra Pandu, yaitu: Dharmawangsa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Pis ini dipercaya memiliki kekuatan gaib seperti kewibawaan, kekuatan, dan juga kebijaksanaan.

Pis Bolong Koci Tualen
Tualen (tualèn) atau Malen merupakan salah satu tokoh punakawan (bahasa Bali parekan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Karakternya mirip dengan Semar dalam pewayangan Jawa. Dalam tradisi pewayangan Bali, Tualen digambarkan seperti orang tua berwajah jelek, kulitnya berwarna hitam, namun di balik penampilannya tersebut, hatinya mulia, prilakunya baik, tahu sopan santun dan senang memberi petuah bijak. Dalam tradisi pewayangan Bali umumnya, puteranya berjumlah tiga orang, yaitu: Merdah, Delem dan Sangut. Mereka berempat (termasuk Tualen) merupakan punakawan yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali.

Pis Bolong Tualen : 
Pis Bolong Tualen yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Dipercaya bahwa dengan membawa pis Tualen ini orang akan merasa tenang saat berhadapan dengan situasi apapun. Ia akan disegani oleh musuh-musuhnya, serta mampu mempengaruhi pikiran dan pendapat orang lain.

Pis Bolong Koci Sangut
Sangut merupakan salah seorang tokoh punakawan (bahasa Bali: parêkan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Dalam pewayangan, Sangut dilukiskan berbibir monyong dan berkulit kuning. Di antara para punakawan, tubuhnya yang paling kurus tapi perutnya besar. Dalam pertunjukkan wayang ia sering muncul bersama Delem dan melakukan dialog penuh lelucon.selain itu sangut sangat pintar dalam bersilat lidah,siapapun yg berdebat dengan pasti kalah dalam berdebat.

Pis Bolong Sangut :
Uang Kepeng/pis Sangut Ini sangat diminati oleh banyak orang karena memiliki kekuatan magis sama seperti tokoh Sangut dalam cerita pewayangan. Dengan membawa pis Sangut sebagai jimat maka orang akan menjadi sangat lihai dalam berdebat.

Pis Bolong Koci Arjuna & Subadra
Pis bolong arjuna & subadra mempunyai tuah untuk mengharmonis pasangan suami istri atau sepasang kekasih agar hubungan mereka berdua bisa kekal abadi seperti layaknya Arjuna & Subdra

Pis Bolong Koci Hanoman
Hanoman (Sanskerta: Hanuman) atau Hanumat (Sanskerta Hanumat), juga disebut sebagai Anoman, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana yang paling terkenal. Ia adalah seekor Kera putih dan merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali dan Sugriwa. Menurut kitab Serat Pedhalangan, tokoh Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana, namun dalam pengembangannya tokoh ini juga kadangkala muncul dalam serial Mahabarata, sehingga menjadi tokoh antar zaman.Jadi siapa saja yang memiliki pis Anoman ini dipercaya memberikan kekuatan dan tenaga (supernatural) seperti angin selama diabdikan untuk kejujuran dan kesetian

Pis Bolong Hanoman :
pis Hanoman ini dipercaya bisa memberikan kekuatan dan tenaga (supernatural) seperti angin selama diabdikan untuk kejujuran dan kesetian

Pis Bolong Koci Dewi Bulan
Dewi Bulan atau dewi Ratih dalam kebudayaan Hindu Jawa dan mitologi Bali. Dikatakan juga bahwa ia adalah dewi kecantikan. Mitos terkenal mengennai dewi Ratih adalah tentang gerhana bulan. Pada saat gerhana, dewi Ratih yang berlari di kahyangan tertangkap oleh Kala Rau. Ia dikejar karena ialah yang memberi tahu dewa Wisnu bahwa Kala Rau hendak minum dari Tirta Amertha (Air kehidupan abadi).

Pis Bolong Dewi Bulan :
Pis Bulan Adalah pis bolong yg bergambar dewi bulan(bhatari ratih) pada satu sisi.pis bolong dewi bulan di percaya mempunyai kekutan magis untuk wanita agar terlihat lebih cantik dan menarik,maka pis dewi bulan ini sangat cocok dipakai oleh seorang wanita.

Pis Bolong Koci Gajah
Dalam mitologi Hindu, Airawata (Sansekerta: Airavata) adalah nama seekor gajah putih, wahana Dewa Indra. Airawata merupakan putera dari Irawati, salah satu puteri Daksa. Dalam mitologi Hindu sering digambarkan bahwa Airawata ditunggangi oleh Indra yang membawa senjata Bajra, sambil membasmi makhluk jahat. Menurut mitologi Hindu, Airawata merupakan salah satu gajah penjaga alam semesta. Ia dianggap sebagai pemimpin para gajah.

Pis Bolong Koci Yudistira
Dipercaya mempunyai tuah untuk kewibawaan, kesabaran, keadilan dan kejujuran bagi yang membawanya.Pis Yudistira ini cocok di pakai oleh seorang pemimpin.Pis bolong ini di yakini bisa membantu kita terhindar dari fitnah dan selalu di anggap baik oleh seseorang dan jika memakai pis ini harus selalu menegakkan kebaikan agar tidak melenceng dari makna pis yudistura yaitu lambang dharmawangsa atau seseorang yang selalu berbuat baik.

Pis Bolong Koci Ghana atau Pis Ganesha
Pis bolong ganesha dipercaya untuk menambah kecerdasan dan untuk melindungi dari sesuatu hal yang buruk bagi yang memiliki pis bolong ganesha.

Pis Bolong Koci Jaring
Daya magis pis jaring ini sangat cocok bagi pedagang yang menjaring pelanggan/rejeki, menambah link bisnis, sebagai sumber pengasihan.


Informasi ini di sadur dari beberapa sumber.

Rabu, 20 Mei 2015

TRI DATU

TRI DATU JALINAN BENANG PENUH MISTERI

Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi. Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikut-ikutan trend, paica atau banyak lagi. 

Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam. Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa.

Jalinan benang ini benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan. Semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajña dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Upacara Dewa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Dalam upacara Butha Yajña, benang Tri Datu dipakai pamogpog atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara Rsi Yajña juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Pada upacara Manusa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. Sedangkan pada upacara Pitra Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal.

Hakikatnya benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya. Tri Murti merupakan tiga kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, yang terdiri dari tiga Dewa utama, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa Brahma sebagai pencipta alam beserta isinya yang disebut utpeti. Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam beserta isinya yang disebut sthiti. Dan Dewa Siwa sebagai kekuatan mengembalikan alam beserta isinya pada asalnya yang disebut pralina. Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Zat Abadi adalah sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi yang disimbolkan dengan Tri Murti dan diaktualisasikan dengan benang Tri Datu. Memakai benang Tri Datu diharapkan umat Hindu dapat memfungsikan Tri Pramana. Tri Pramana berarti tiga unsur yang menyebabkan terjadinya suatu kehidupan. Tri Pramana terdiri dari bayu, sabda dan idep. Tumbuhan hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, binatang memiliki bayu dan sabda. Sehingga binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang, dan mengeluarkan suara. Sedangkan manusia memiliki bayu untuk tumbuh dan bergerak, sabda untuk bersuara, dan idep agar dapat berpikir sehingga bisa memilah benar dan salah, baik atau tidak baik. Penyatuan Tri Pramanan inilah merupakan jalinan kuat serta satu kesatuan utuh yang disimbolkan dengan benang Tri Datu.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna diantara ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia berasal dari kata Manusah, yang berakar dari kata Manu yang berarti kebijaksanaan, dan sah berarti mempunyai. Sehingga Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia, yaitu bayu, sabda dan idep, yang dikenal dengan istilah Tri Pramana. Tri Pramana inilah yang perlu dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Bertujuan agar manusia menjadi lebih bijaksana, dan menjadi manusia yang sempurna. Makhluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja, yaitu kemampuan bergerak atau bayu dan kemampuan bersuara atau sabda. 

Kitab Sarasamusccaya menyatakan, bahwa manusia wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi makhluk yang utama. Oleh karena itu gunakanlah kesempatan hidup sebagai manusia yang sempit ini dengan sebaik-baiknya. Karena kelahiran sebagai manusia sungguh sangat sulit diperoleh. Lakukanlah segala sesuatu yang baik untuk mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan. Gunakanlah kelahiran sebagai manusia ini untuk mencapai moksa. Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain, oleh sebab itu gunakan akal budi untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat hidup dengan lebih baik.

Memahami konsep Tri Pramana akan menjadi penggerak konsep Trikaya Parisudha. Trikaya Parisudha berdasarkan etimologinya berasal dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan atau prilaku, dan Parisudha berarti upaya penyucian. Trikaya Parisudha berarti upaya pembersihan atau penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku. Tri Kaya Parisuda merupakan tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci disebut dengan Manacika, berkata yang baik dan benar disebut dengan Wacika, dan berbuat yang jujur adalah Kayika. Trikaya Parisudha merupakan konsep dasar manusia dalam hidupnya. 

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha sebagai aktualisasi diri ini, diharapkan umat Hindu mulai sadar akan jati dirinya. Salah satunya dengan cara introspeksi diri atau dengan istilah mulat sarira. Dengan adanya introspeksi diri ini diharapkan umat Hindu dapat hidup sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu yang satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan. Umat Hindu akan sadar bahwasannya ini adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan hanyalah sebagian kecil alam semesta. Dengan mengingat-Nya, menjalankan ajaran-Nya ada kerinduan manusia untuk kembali pada-Nya.

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha menuntun umat Hindu akan jati dirinya. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya menjadi lebih baik. Walau tidak mudah, tetapi lebih baik berdiri dari pada duduk, lebih baik berjalan dari pada berdiri, lebih baik berlari dari pada berjalan. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi manusia kelahiran tua. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi atman yang rindu akan asalnya. Benang Tri Datu, Tri Murti, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha, dan tri-tri yang lainya merupakan jalinan penuh misteri dan mesti diuraikan.

PEMAKAIAN BENANG SEBAGAI TANDA PROSES KEHIDUPAN

Berbicara mengenai tanda-tanda yang dipakai sebagai penanda dalam kegiatan ritual keagamaan, bisa dikatakan bahwa agama Hindu memang sangat kaya dalam hal tersebut. Misalnya dalam agama Hindu ada gambar-gambar tertentu yang menyatakan senjata para dewa, warna-warna tertentu yang menyatakan arah mata angin menurut Hindu, dan tanda-tanda lainnya. 

Seperti telah disebutkan di atas bahwa dari tanda-tanda keagamaan yang ditunjukkan seseorang kita sudah dapat menebak dari warga mana mereka tersebut. Misalnya para pemuja Siwa, biasanya mereka memakai Rudraksa sebagai ciri khasnya, sedangkan bagi warga pemuja Wisnu tanda yang paling mencolok yang bisa dilihat adalah tanda “Sika” kuncir di belakang kepala, mereka memakai “Kunti mala” kalung dari kayu tulasi, serta tanda-tanda lainnya.

Khusus dalam kegiatan keagamaan di Bali serta wilayah Nusantara umumnya, di mana Hindu pernah berkembang, masyarakatnya juga memiliki tanda khusus yang sering dipakai dalam kegiatan ritual, khususnya pemakaian benang suci. Dilihat dari jenis benang yang dipakai, ada berbagai nama benang suci yang dipakai oleh masyarakat kita, seperti “benang tetebus”, “benang pepegat”, “benang suci tanda brahmana”, “benang tri datu”, serta jenis benang-benang lainnya.

Menurut tradisi masyarakat Bali, pemakaian benang tersebut erat hubungannya dengan ritual tertentu, seperti saat acara matepung tawar, otonan, padiksan, odalan serta ritual lainnya. Bagi warga kebanyakan, memakai benang suci tersebut merupakan suatu acara seremonial tanpa perlu menanyakan apa maksud yang dikandung dalam pemakaian benang tersebut.

Menurut pendapat penulis, bahwa memakai benang suci itu bukan sekedar memakai seutas tali, namun ada makna yang lebih dalam dari pemakaian benang tersebut. Benang adalah cerminan suatu proses pematangan diri untuk menuju suatu kehidupan yang berguna dan suatu jalanan yang saling mengikat dan mengisi satu sama lain. Seperti proses pembuatan benang yang berasal dari kapas, sebelum menjadi benang kapas tersebut harus dipintal agar kita mendapatkan benang. Setelah mendapatkan benang, maka kita dipersilakan lagi mememakainya sesuai dengan kebutuhan kita, apakah mau dipakai untuk menyulam atau ditenun untuk dijadikan kain dan lain sebagainya.

Mengenai nama-nama benang yang dihasilkan dari proses pemilinan tersebut tergantung dari pesan yang kemudian ingin disampaikan sesuai imaginasi seseorang. Misalnya benang tridatu atau benang tiga warna melambangkan proses bersatunya tiga kekuatan yang diwakili oleh warna benang tersebut, misalnya hitam mewakili aspek dewa Wisnu, merah mewakili aspek kekuatan Brahma, putih mewakili manifestasi Dewa Siwa. Melalui benang tiga warna ini, masyarakat ingin menyatakan bahwa mereka itu memuja tiga manisfestasi kekuatan dewa berdasarkan prinsip Tri Murti. Bahkan bisa juga diulas lebih lanjut bahwa warna benang tri datu: hitam, merah, warna keemasan memiliki arti yang lain. Misalnya warna hitam melambangkan kesuburan, warna merah berarti darah, kekuatan atau tenaga , dan warna kuning keemasan melambangkan kemuliaan.

Dalam merayakan “otonan”, perayaan hari kelahiran berdasarkan siklus wuku dimana hari terus tersebut terulang setiap 210 hari, mereka yang natab banten otonan akan diberikan benang “tetebus”, benang yang harus dituntaskan. Tetebus berarti lunasi, atau tuntaskan. Jadi makna filosfis benang tetebus tersebut adalah, jika kita mengerjakan sesuatu seharusnya dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan. Artinya apa pun yang yang kita mulai seharusnya diselesaikan secara sempurna bagaikan orang memilin benang tetebus tersebut, semua diproses dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.

Berbeda lagi pesan yang disampaikan dalam “benang pepegat” saat orang melakukan perpisahan khususnya dalam upacara Pitra Yadnya. Para tetua mungkin ingin menyampaikan bahwa kita ini memang terikat seperti benang, antara satu dengan lainnya, namun bila waktunya kita sudah harus berpisah atau melepaskan perikatan terhadap dunia material, maka orang seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai proses yang tidak dihindari dalam kehidupan manusia normal. Perpisahan bukan berakhirnya suatu proses, namun perpisahan adalah awal dari proses kehidupan baru.

Bisa dikatakan, bahwa makna pemakaian benang suci tersebut tergantung dari jenis aktivitas ritual yang dilakukan dan benang tersebut menyiratkan makna kepada manusia, bahwa kita seharusnya dalam hidup ini mengalami proses pematangan, sehingga terlahir generasi yang bisa saling bersatu dengan yang lainnya. Namun jika pemakaian benang suci tersebut tidak dimaknai secara serius, maka pemakaian benang suci dalam kegiatan ritual tak ubahnya bagaikan orang mendengarkan music rock keras yang berlirik bahasa Inggris, terdengar keren namun kita tidak tahu dengan jelas artinya. 

Begitu juga dalam kehidupan ritual orang Bali, mereka banyak merayakan upacara, rela mengorbankan waktu namun, memakai banyak simbul. Namun bila makna yang disampaikan dalam kegiatan tersebut tidak bisa ditelaah secara sempurna, maka hal itu kurang bermakna dan manfaatnya pun kurang.

Dalam kehidupan beragama kita mewarisi banyak petuah yang harus dicerna dan perlu dikaji secara mendalam untuk mengerti makna yang tersirat dalam tanda atau lambang yang digunakan dalam ritual tersebut. Para tetua kita dalam praktek kehidupannya tidak bergulat dengan aktivitas penghafalan sloka-sloka buku suci, namun lebih mewujudnyatakan ajaran itu dalam tindakan nyata. Sehingga tidak mengherankan bila kita diwariskan begitu banyak tanda-tanda keagamaan yang seharusnya kita perdalam maknanya, agar kita memahami cara ritual masyarakat kita di jaman dulu. 

Bila kita dalam kegiatan berspiritual hanya mendasarkan diri pada suatu proses “prejani” tanpa mau belajar dari simbol-simbol yang dipakai dalam kegiatan ritual, maka kita akan hanya menjadi selebriti pada kegiatan spiritual, semua ditampilkan dengan meriah, mewah namun semua datang dan pergi tanpa kesan. Hal ini seperti juga mulai menjangkiti kita dalam beritual, karena pengaruh jaman global maka kebijaksanaan leluhur kita yang dulunya menyiratkan pesan-pesan filosofi, sekarang digantikan dengan gaya persembahan modern. Akibatnya, kini jarang terjadi suatu proses “komunikasi” dengan alam di mana kita berpijak.

Hal tersebut kita bisa lihat sekarang di kehidupan masyarakat yang ekonominya sudah mapan, seperti dalam merayakan hari kelahiran. Banyak di antara mereka tidak lagi merayakan otonan-nya, namun lebih berdasarkan kalender modern, sehingga pemakaian benang tetebus, benang tridatu hampir tidak ada lagi. Mereka lebih senang merayakan hari kelahirannya dengan pola “prejani” itu, sehingga mereka lebih hafal dengan istilah “Burgerking”, “Fried Chicken”, “French Fries”, dan hal-hal prejani (instant) lainnya. Karena mereka tidak mendapatkan ajaran filosofis yang terkandung dalam benang, maka semua mereka lakukan dengan prejani. 

Ketika mereka ingin memiliki kendaraan, mereka cenderung lakukan secara cepat dengan menjual tanah warisan. Begitu juga tentang bahan persembahan yang dihaturkan untuk upacara mereka cenderung memakai produk dari luar Bali, sehingga ibu pertiwi Bali terabaikan. Jadinya jarang ada proses pelestarian terhadap tanaman Bali, seperti tanaman sentul, mundeh, dau, gunggung, juwet, dan yang lainnya.

Sebelum hal lebih parah terjadi marilah kita bercermin dari pemakaian benang suci atau tali suci itu, biarkanlah kita mengalami suatu proses yang susah untuk mencapai suatu tujuan, seperti apa yang dialami benang itu. Jika kita tidak mau mendalami makna benang suci itu, maka bukan tidak mungkin suatu saat kita ganti benang suci itu dengan tali plastik, atau bagi yang berada bisa saja mengganti benang suci itu dengan untaian gelang emas, kalung emas dan lain sebagainya.

Marilah kita jadikan benang suci sebagai penanda keterikatan kita terhadap agama kita, persatuan di antara warga Hindu, dan berlindung kepada kekuatan tridatu yang melambangkan kekuatan dewa Tri Murti. Semoga saja nantinya kita semakin sadar bahwa kegiatan beragama atau berspritualitas kita semakin kokoh, terpilin seperti benang suci tersebut, saling terikat satu sama lainnya untuk menyatukan dirinya agar berguna pada kehidupan ini. 

BENANG SUCI TANDA KOMITMEN DI JALAN ROHANI

Dalam upacara agama Hindu, Khususnya adat di Bali sering kita temukan dalam acara-acara khusus terdapat upacara pengalungan benang suci atau upacara diisi dengan benang Tri Datu, yaitu tiga helai benang dengan ukuran tertentu yang berwarna Merah, Putih, dan Hitam. Kalau di Bali, merah disebut barak atau biying, Putih disebut Putih, sedangkan hitam disebut selem atau badeng. Seperti upacara panglukatan misalnya yang menggunakan benang Tri Datu. Biasanya benang tersebut di sematkan pada tangan seseorang atau dijadikan kalung dan diisi pis bolong.

Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, benang Tri Datu tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis, agar seseorang terhindar dari kesulitan. Benang Tri Datu juga diyakini sebagai simbol kwaca atau pelindung diri. Di samping itu bagi umat Hindu Simbol benang Tri Datu juga diyakini memberi vibrasi kesucian bagi si pemakai benang tersebut dan menandakan umat yang mengalungkan benang Tri Datu tersebut adalah sebagai tanda atau simbol pengesahan dalam melaksanakan ritual atau upacara pengelukatan. 

Dalam kegiatan aguron-guron, seperti saat penerimaan seorang murid, maka akan dilakukan nama karanam dan setelah murid dianggap mempunyai kualitas, maka si murid akan diberi benang suci, yaitu diinisiasi atau di-diksa. Orang yang mendapatkan benang suci tersebut menurut aturan-aturan veda asrama ialah orang-orang yang terpilih, artinya mereka adalah orang-orang yang siap baik secara prinsif dan mengikuti aturan-aturan sastra. Dan tali suci itu sebagai sebuah tanda, bahwa seseorang tersebut dapat disebut sebagai seorang brahmana. Demikian juga dalam prakteknya, seorang diksita atau brahmana harus melaksanakan kewajibannya sebagai pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan dalam tatanan kehidupan rohani misalnya seorang brahmacari dan brahmacarini. Ia harus siap berpantang melaksanakan aturan-aturan daru guru spiritualnya, yaitu mengikuti aturan Guru siksa, dimana ia harus tahan terhadap penderitaan dan menjaga kesuciannya, yaitu dengan saucam, dimana ia harus jujur, tidak menipu dirinya sendiri, jadi pertapaan itu dilakukan untuk kebaikan dirinya bukan untuk orang lain. Demikian juga seorang brahmacari tidak boleh memikirkan tentang orang lain selain melayani Tuhan, apalagi berkata-kata untuk kepuasan indria sehingga prilaku kesucian tetap terpelihara dalam pertapaannya. 

Demikian juga seorang grahasta yang sangat penting dalam memobilisasi berjalannya warna asrama dharma, karena para grahasta-lah yang harus bertanggung jawab memfasilitasi para brahmacari dan wanaprastha serta bhiksuka. Dalam posisi ini para grahasta harus menjaga ketat pertapaannya agar dia maju dalam kesadarannya. Dan grahasta diperbolehkan berhubungan seks hanya dimaksudkan apabila menginginkan adanya keturunan, selain itu dilarang. 

Namun sekarang banyak di antara kita yang berusaha hidup rohani akan tetapi kesannya menabukan symbol-simbol tersebut. Misalnya banyak di antara kita memakai benang suci tersebut sebagai aksesoris semata atau sebagai variasi-variasi kehidupannya, agar nampak hidupnya suci namun melupakan atauran-aturan standar sastra. Fenomena tali suci yang bertujuan untuk dihormati dan terkesan suci, maka itu sama dengan penggunaan nama suci Gayatri saat ini. Dahulu mantram Gayatri adalah mantram yang khusus penggunaannya bagi para Brahmana untuk bisa mengangkat derajat manusia ke kesadaran yang tinggi, namun sekarang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh melihat pengucapan mantra tersebut didasari atas kualitas orang. Fenomena sekarang sudah tidak mempedulikan aturan-aturan pakai dari mantra dan benang suci tersebut sehingga benar-benar menunjukkan sebagai orang yang bonafide. Sekarang orang mengumbar nama suci tersebut tanpa memikirkan aturan standar dari penggunaan amantra dan benang suci tersebut. 

Pemakaian tali suci di era modern ini tentu akan menjadi sangat relepan, bilamana hal itu menunjukkan kesungguhan hati pemakainya di dalam menggantungkan harapan dan ingatannya kepada Tuhan. Karena hanya peradaban rohanilah yang mengantar tiap jiwa ke jalan kebahagiaan sesuai teori kebahagiaan yang diamanatkan Sarasamuscaya, yaitu “Sukha” kebahagiaan dalam hidup ini menuju kebahagiaan hidup yang akan datang. 

BENANG TRI DATU SIMBOL SUCI YANG INDAH

Ketika kita melihat orang Hindu di Bali saat ini, maka semakin marak muncul identitas baru, selain memakai wija di dahi, banyak orang juga memakai benang tridatu, sebagai simbolis telah melalui prosesi tertentu. Apa yang bisa kita maknai dari pemandangan seperti ini? Adakah ini bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Sulit untuk menjawabnya dengan pasti.

Pemakaian benang tridatu, saya temui di keluarga saya pada kondisi, sebagai berikut. Pertama, saat gendongan (kulkul suci) peninggalan Kerajaan Klungkung bersuara. Kedua, ketika salah satu keluarga, pedek tangkil ke Pura Penataran Ped, di Nusa Penida. Ketiga, selesai mengikuti prosesi Agnihotra, yang dipimpin oleh Ida Rsi Agni Jaya Murti di Geriya Sampalan Kelod. Untuk yang terakhir ini sering Beliau lakukan di Bandung, kami alumni ITB, yang gandrung spiritual ketika itu, ikatan benang empat warna (merah, putih, kuning dan hitam) itu sangat membanggakan dan juga indah, di samping ada getaran kesucian dalam hati dan pikiran kami, yang memakainya. 

Ida Rsi Agni Jaya Murti, memaknai penggunaan benang catur warna itu, melambangkan catur loka pala, dan energi yang mengitarinya berasal dari empat penjuru mata angin, begitulah makna yang selalu di Dharmawacanakan oleh Ida Rsi. Upacara agnihotra sangat disiplin dan konsisten hingga kini. Kami selalu mengenang dan mendapatkan pencerahan, ada semacam kerinduan di antara kami para alumni itu, yang kini menyebar ke seluruh Indonesia, kadang-kadang kami saling mngunjungi, dan datang untuk ikut sembahyang agniotra di geriya Sampalan Kelod, karena beliau sampai saat ini, sangat disiplin untuk konsisten melakukan yadnya Agnihotra, setiap purwaning tilem dan purwaning purnama. 
Maraknya penggunaan benang tridatu, sebagai sebuah pertanda baru. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agama Hindu kaya dengan simbol. Simbol ini sebagai bentuk identitas untuk membedakan pada ordenary person (orang kebanyakan). Apa makna yang terkandung dari penggunaan atribut ini, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama sebagai simbul kesucian. Kedua, eksistensi keberadaan dengan komunitas lain. Ketiga, benang tridatu dapat penangkal mara bahaya. 

Benang tridatu sebagai simbol kesucian. Kesucian itu muncul, karena pikiran orang yang memakai selalu teringat tentang aspek trimurti, warna putih, hitam dan merah (Brahma, Wisnu dan Siwa). Tuhan hadir dalam benak sebagai generation, organization dan destruktion (GOD).

Berkaitan pada simbol identitas agama Hindu, maka di era globalisasi, orang kini berpaling pada identitas kelompok, karena kini telah banyak muncul merk global yang menggilas identitas lokal, agar tidak kehilangan identitas. Dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari. 

Simbol suci kerap mengatasi kegelisahan manusia untuk memaknai dirinya dalam konstelasi alam raya dengan ketuhanan yang melingkupinya, serta keterbatasan daya analisis manusia itu, menyebabkan manusia kemudian berfilsafat untuk memberikan pemuasan secara intelektual tentang apa-apa yang membuatnya gelisah. Filsafat Wedanta memberikan uraian tentang keterkaitan manusia dengan alam raya dan Tuhan dengan sangat indah dan cerdas. Ada empat statemen berkenaan dengan itu, yakni: Prajnanam Brahman, Tat Twam Asi, Atman Brahman aikyam, Aham Brahma Asmi. Keempat pernyataan agung itu merupakan intisari Upanisad, sebuah mutiara kehidupan yang paling lengkap yang dimiliki oleh peradaban Weda. Peradaban ini awalnya memang diturunkan dan dianut oleh komunitas manusia yang hidup di lembah sungai Shindu. Yang oleh orang-orang Barat disebut Hinduism. 

Dalam ajaran yang demikian luas untuk mengekstrak menjadi identitas Hindu, sebenarnya sangatlah sulit, tanpa jiwa spiritual tumbuh dalam pencariaan itu. Weda dimaknai tiada berawal dan tiada berakhir, hanya dengan pemaknaan pada evolusi spiritual manusia dari Dwaita, ke Wisista Dwaita dan akhirnya ke Adwaita dapat menjawab kesulitan itu. Banyak ahli yang ingin menggali dan mengungkap sari pati Weda, namun mereka luluh karena tercerahkan. Max Muller satu diantara banyak sarjana Barat yang mengecap manisnya ‘nektar’ Weda. Inti sari Weda ternyata ditemukan bisa dibahasakan dengan untaian kata ini “memuliakan pengorbanan sebagai kebajikan tertinggi”, Na karmana na prajaya dhanena tyagenaikena amritatwamanasu” Keabadian hanya dapat dicapai dengan pengorbanan. Harta, keturunan, maupun perbuatan baik tidak dapat memberikan kekekalan.

Identitas Hindu seolah-olah dapat muncul di hati mereka yang tercerahkan. Perubahan karakter itu seolah-olah menjadi identitas Hindu, dan kata Hindu itu sendiri menjelma menjadi sebuah identitas menganggumkan, yaitu H (humanity, kemanusian ), I (Integrity, kejujuran), N ( nationality , kebangsaan), D (devotion, kebaktian), U (Unity, kesatuan). 

Kemanusiaan berangkat dari pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Ciri ini memang sulit dipisahkan dari Hindu, yang cinta damai, tanpa kekerasan. Predikat cinta damai buat Hindu tetap ajeg sampai kini karena usaha yang tanpa pamerih dari orang suci (Yogi) untuk meningkatkan spiritual masyarakat untuk selalu bertahan di jalan dharma. Para Yogi inilah yang selalu mempertahankan dan penuh disiplin menggali ajaran suci dan memperbaharui penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara sekian banyak para yogi, guru suci dan ahli Weda dalam domain Hindu yang sangat luas, bisa disebutkan Swami Dr Vedavyasa, PhD, seorang president Yoga Brotherhood of Amerika (Inc) USA, menulis dalam bukunya Hinduism In The Space Age (1995, 47) “ A Universal Wisdom Science that is also a life disiplin for healty Harmonious and happy posterity”. 

Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki esensinya kata Sartre. Dalam konsep itu nampaknya bisa bersinggungan manakala manusia tidak memiliki identitas yang membedakan dengan segerombolan manusia yang lain. Artinya, manusia tidak dapat didefinisikan. Manusia ialah apa yang dia pilih untuk menjadi. Karena manusia dapat menjadi apa saja, di depan manusia tersedia peluang yang tidak terhingga. Agama Hindu berdiri sebagai salah satu jalan untuk membawa manusia mengenal dirinya sendiri, hakekat dirinya sendiri (true the self). Dalam konsep itu, manusia memasuki tiga tahap, yaitu (1) estetik, (2) etis (3) religiutas.

Dalam hal religiusitas ini, banyak hadir para orng suci Hindu hadir semisal Ida Rsi Agni Jaya yang bertempat di Geriya Sampalan kelod ini, yang kerap hadir memberikan aksentuasi pada identitas Hindu. Di dimensi internasional, kita bisa melihat peran strategis Swami Sathya Narayana (Swami Sai Baba). Guru Suci ini selalu memberikan panafsiran terkini tentang ajaran suci Weda dengan bahasa yang mudah dicerna, dengan organisasi internasionalnya yang hampir meliputi 165 negara di dunia mengalirkan ajaran Weda bak air bah menyusup di lintas negara dan ras bangsa ke seluruh dunia. 

Di samping itu, Sai Baba, juga memiliki sebuah payung pelayanan kemanusian yang diorganisir dengan nama: Sri Sathya Sai Seva Organitations yang bergerak memberikan pelayanan kemanusiaan dengan motto sederhana: Manava seva madava seva (melayani manusia adalah juga melayani Tuhan). Dengan prinsip dasar: Religious Tolerance seolah mengembangkan Hindu modern dengan identitas kemanusiaan yang sangat intens. Sevadal-sevadal-nya juga sering menggunakan tanda ikatan benang di tangan kanannya.

Selain itu, Sebuah Wacana Swami Sai Baba tentang Weda, yang membuat para ahli teosofi dan pencinta spiritual kagum adalah kemampuan untuk memberikan terminologi modern terhadap Hindu dalam buku “ Guide to Indian Culture and Spirituality, (ed. Kausalyarani Raghavan 1990, 99) menyebutkan : The essence of all Purana and Weda is : Do good to others and keep way from doing harm to others. Doing harm to others is great papa” 

Seruannya yang selalu membuat orang tersentak adalah kemanisan di balik rangkaian kata yang sulit dicari bandingangnya “Love all religions and all nations. Recognise and accept all religion as paths leading men to the same destination. All of them peace and compassion, humanity and forbearance’ (Last Para Devine Discourse, p 248). Selain itu Beliau mengatakan: “Ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia: dhanya’ bahan makanan’ untuk memelihara badan dan dhyana ’meditasi’ untuk memasuki tempat kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaannya.” SriSathya Sai Saying (ed. Dr. D.R. Sadh Khandwa, 1988, 126).

Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan pada semua mahkluk. Om nama Siwaya.

BENANG TRI DATU SEBAGAI SIMBOL OMKARA DAN PROTEKSI GAIB

Krama Bali Hindu sudah biasa memakai benang tri dathu sebagai gelang. Sebagai aksesoris ia kelihatan unik dan antik, namun lebih jauh dari itu benang ini memiliki nilai filosofis yang dalam dan diyakini memiliki power magis. Bagaimanakah keberadaan piranti spiritual ini secara menyeluruh.

Tri berarti tiga dan dathu berarti elemen atau warna. Jadi tri dathu adalah tiga warna yang terdiri dari merah, hitam dan putih sebagai lambang Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa). Tiga warna ini biasanya digoreskan pada tiang-tiang bangunan rumah, pura dan sebagainya pada saat membuat upacara pemlaspas, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyucikan dan peresmian bangunan. Maksudnya untuk menjaga penghuninya supaya memperoleh kerahayuan dan segala bhuta kala yang hendak mengganggu dapat diredam. Demikian penjelasan Ketut Gina, dalam bukunya yang berjudul “Gambar dan Lambang.”

Warna yang dipakai pada tiang bangunan atau tempat suci biasanya berasal dari darah binatang yang disembelih sebagai hewan upacara, sebagai warna merah. Kemudian warna putihnya diperoleh dengan menggoreskan kapur sirih, sedangkan warna hitamnya berasal dari arang kayu. 

Kehadiran lambang dan simbol dalam upacara Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari praktik tantrik yang mengusung power atau sakti sebagai wadah. Tidak salah kemudian bila tiga warna ini memang dominan fungsinya untuk kepentingan magi, dalam hal ini magi protektif, sebagai pelindung.

Sejarawan, Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum, pernah mengungkapkan, bahwa warna merah, hitam dan putih yang dipandang sakral oleh umat Hindu sebenarnya berasal dari kebudayaan asli Nusantara, di mana ketiga warna tersebut dipercaya bernilai magis. Namun setelah budaya Hindu masuk Nusantara, ketiga warna ini diberi pemaknaan baru dengan filsafat Hindu, yaitu konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu, Iswara (Siwa).

Kemudian bagaimana pemanfaatan tiga warna tersebut (tri dathu) untuk manusia? Jelas memang, untuk manusia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan bagaimana pemanfaatan warna-warna sakral itu pada bangunan maupun hewan. Bila untuk ngurip maupun melindungi bangunan baru atau bangunan suci dari vibrasi negatif, maka warna sakral itu dioleskan pada bangunan, sedangkan pada manusia digunakan sebagai gelang benang tri dathu. 

Benang diikatkan pada lengan, maksudnya, mengikat atau melindungi urip atau hidup seseorang, karena benang tiga warna ini selain bermakna kemanunggalan Brahma, Wisnu dan Iswara, juga bermakna manunggalnya bayu, sabda dan idep, yang berarti jangkep-nya sang mahurip. Dari sisi magis, ketiga warna ini mewakili aksara Ang, Ung, Mang. Ketiganya manunggal menjadi aksara Om. Nyatalah benang tri dathu merupakan sebuah mantra sakti, Omkara nada sebagai pelindung.

Selaian itu, pemakai benang tri dathu diharapkan membawa vibrasi baik bagi pikiran pemakai benang tri dathu. Benang tri dathu disebut juga dengan benang tetebus. Ketut Donder dalam bukunya “Panca Dhatu, Atom, Atma dan Animisme” mengungkapkan, benang tri dathu kerap digunakan saat upacara Manusa Yadnya serta pada upacara abhayakala (biakawon) pada hari raya Galungan.

Benang warna merah biasanya dililitkan pada pergelangan tangan, benang hitam dililitkan pada kaki dan benang warna putih disuntingkan pada telinga. Fungsinya untuk menenangkan pikiran, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif.

Ada kalanya yang dipakai adalah benang empat warna atau catur dhatu: putih, merah, hitam, kuning. Selain dipakai masyarakat, pemakaian empat warna juga nampak di sanggar agung, Besakih yang merupakan sthana Tuhan dalam manifestasi Wisnu, Brahma, Siwa dan Mahadewa. Empat warna benang ini juga bisa menyimbolkan catur loka pala, yaitu Indra, Baruna, Kuwera dan Yama. Apa pun itu, warna-warni tersebut selain memiliki arti filosofis dan secara etika indah sebagai gelang, juga berintikan kekuatan magis sebagai pangraksa jiwa pemakainya. Dan zaman modern ini pun telah diketahui secara ilmiah bahwa berbagai warna memiliki pengaruh kesehatan tertentu bagi organ-organ tubuh.

Penolak Wabah

Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Bali tentang keyakinan terhadap grubug atau wabah menjelang sasih Kanem dan Kapitu. Pada seputar kedua sasih inilah akan banyak dijumpai krama Bali mengenakan benang tri dathu di pergelangan tangannya. 

Menurut Jro Mangku Oka Swadiana dari Kerobokan, Badung, pemakaian benang tri dathu bagi sebagian orang diidentikkan dengan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling yang bersthana di Pura Dalem Ped. Dengan memakai benang tersebut orang-orang percaya bakalan dijauhkan dari gangguan ancangan Bhatara Dalem Ped, manakala ancangan beliau melawat di tengah-tengah masyarakat Bali antara sasih Kanem dan Kapitu.

Bagi Jro Mangku Oka, melawatnya ancangan Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengadakan evaluasi terhadap perilaku krama Bali. Pada masa-masa itu, konon mereka yang tergolong jadma tan pa kerthi (orang yang tidak berbhakti kepada Tuhan) akan menerima hukuman dari para ancangan tersebut.

Ciri-ciri mereka yang diganggu ancangan Bhatara Dalem Ped, seperti bingung, bengong, gundah gulana, sakit dan penderitaan lainnya. Sebaliknya, bagi krama yang sudah menunjukkan sradha bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta semua manifestasiNya, maka semua ancangan tersebut tidak akan menyentuhnya. 

Masih menurut Jro Mangku Oka, ada kalanya benang tri dhatu dilengkapi dengan pis bolong, bawang putih, mesui dan jangu. Dalam hal ini pis bolong sebagai simbol kemanunggalan dengan alam luhur (dewata), kesuna berwarna putih sebagai simbol Dewa Iswara (Siwa), dan mesui dengan karakter panasnya mewakili sifat Dewa Brahma, dan jangu yang sejuk sebagai simbol karakter Dewa Wisnu.

Benang tri dhatu dengan kandungan benda-benda tersebut biasanya dikenakan saat wabah menerjang di suatu wilayah. Tambahan mesui, kesuna, jangu dan pis bolong ini untuk memperkuat getaran magis benda tersebut, sehingga fungsinya semakin optimal. Tapi, benang tri dathu yang dilengkapi dengan pis bolong ini tidak melulu dipakai sebagai gelang, karena ada kalanya digunakan sebagai kalung sebagai sikep atau pangraksa jiwa.

Berdasarkan praktik di tengah masyarakat, benang tri dathu merupakan satu kesatuan dengan upacara. Ia merupakan bagian dari bebantenan, sehingga secara langsung benda ini dimohonkan kekuatan dari Ida Bhatara, sehingga memiliki power khusus. Jadi, tidak perlu pasupati khusus untuk bebang tri dathu, asalkan benang itu dibuat sebagai bagian bebantenan. Namun beberapa pengobat tradisional yang mengobati pasiennya, ada kalanya memberikan benang tri dathu pada pasiennya. Menurut Jro Mangku Oka, benang tri dathu jenis ini umumnya memerlukan pasupati khusus, supaya memiliki power penjaga, dan penyembuh serta pengusir roh-roh jahat. Berapa lama tuah benang tri dathu ini bekerja? Menurut Jro Mangku, power magis benang tri dathu akan terus bekerja selama benang itu masih melekat di badan dan fungsinya akan selesai bilamana benang itu lepas secara alamiah maupun sengaja dilepaskan.

MAKNA BENANG TRI DATU

Benang suci TRIDATU adalah benang yg terdiri dari jalinan tiga buah benang yg berwarna putih, hitam dan merah yg menyimbolkan Brahma, Wisnu dan Siwa, juga simbol dari tiga serangkai lainnya Mahasaraswati, Mahalaksmi dan Mahakali. Melambangkan tiga guna; satwam, rajas tamas, melambangkan tiga suku kata tunggal A,U,M dari OM.

Seorang sahabat bertanya agak serius. “Kenapa rata-rata orang Hindu, khususnya yang berasal dari Bali memakai gelang dari benang warna tiga?”

Penjelasan nya;

Selalu memberikan jawaban yang simpel dan filosofis. Misalnya, tridatu dijelaskan sebagai simbol untuk selalu mengingatkan manusia bahwa hidup itu tidak hanya sewarna, melainkan banyak warna. Paling tidak ada kelahiran, kehidupan, dan kematian dan dengan menggunakan tridatu, kita diingatkan atas semua itu.

Ada juga yang berkeyakinan dan percaya bahwa pemakaian benang suci akan mampu memberikan vibrasi kesucian dan perlindungan dari segala kejahatan dan mengusir roh – roh jahat.

Di India juga mengenal pemakaian benang suci di tangan. Jikalau kita berupa jalinan tiga buah benang yg disebut Tridatu, di India pemakaian benang ini disebut dengan Raksha Sutra, Raksha = perlindungan, Sutra = benang, jadi berarti benang suci perlindungan. Namun di India biasanya hanya satu warna, kuning atau merah atau putih.

Biasanya saat pemakaian benang ini akan dilantunkan swasti sukta yaitu mantra – mantra permohonan perlindungan.

Om Swastina indro wriddaswarah
Swastina pusha wiswadewah
Swastina tarkshyo aristanemih
Swastino brhaspatir dadathu.

Semoga Indra yg perkasa, Pusha (Matahari) yang terpelajar, Tarksya (Garuda) yang tak terkalahkan serta Brhaspati memberkati dan melindungi kita.

Atau bisa juga dengan mantra yang singkat:

Om Ang Ung Mang
Raksha – raksha Hum Phat Swaha.

Ang-Brahma
Ung-Wisnu
Mang-Siwa
Raksha-perlindungan
Hum-kawaca/baju jirah/tameng
Phat-bijaksara senjata
Swaha-permaisuri Agni, bisa juga berarti permohonan.

GELANG TRI DATU (IDENTITAS KEHINDUAN)

Beberapa tahun terakhir, ada yang menarik dalam dinamika umat Hindu di Indonesia. Sangat lasim kita melihat umat yang menggunakan gelang Tridatu (Benang yang di jalin dari tiga unsur warna, merah-Hitam-Putih) di tangan, fenomena ini hampir menyentuh seluruh lapisan umat Hindu, dari anak-anak, remaja dan tua.

Dahulu, gelang Tridatu hanya digunakan di Bali saat ada wabah (grubug) dalam satu wilayah desa. Digunakan sebagai penanda agar tidak terkena pengaruh negatif dari wabah yang sifatnya Niskala. Namun kini, gelang Tridatu digunakan dalam keseharian umat Hindu. Tampaknya Gelang Tridatu mulai berubah fungsi, dari yang sifatnya Niskala kini menjadi identitas kehinduan. Weeks (1990: 89) menyimpulkan identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, “soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang-orang lain”. Fenomena ini menunjukkan bahwa, secara sadar umat Hindu mulai menunjukkan penanda dalam satu kesatuan agama dan sekaligus pembeda dengan Umat agama Lainnya.

Gelang Tridatu sendiri secara filosofis merupakan warna yang mewakili aspek ketuhanan, Merah sebagai warna Dewa Brahma, Putih sebagai warna Dewa Iswara/Siwa, dan Hitam sebagai warna Dewa Wisnu. Sekaligus mengingtakan tentang proses kehidupan yang diwakili dari tiga dewa tersebut (Tri Murti), Brahma-Uthpti/penciptaan, Wisnu-Sthiti/Pemeliharaan dan Siwa-Pralina/Peleburan. Dalam konteks keberaksaraan juga diwakili dengan : Ang-Ung-Mang. Pada Akhirnya kesatuan dari ketiganya adalah Omkara atau Hyang Widhi/Brahman itu sendiri.

Apabila dirujuk lebih jauh, konsepsi ketuhanan ‘Ekatva Anekatva Svalaksana Bhatara (Hyang Widhi adalah satu dalam yg banyak dan banyak dalam yang Satu)’. Warna-warna yang mewakili Dewa-dewa Hindu terpapar dalam konsep Dewata Nawa Sangga dan sekaligus karakter dari warna tersebut, Yaitu :

1. Iswara : Putih (Suka sugih tur Rahayu, dana Punia Sthiti Bhakti)
2. Mahesora : Merah Muda (Widagda sira ring Niti, Subhaga sirang Bhuana)
3. Brahma : Merah (Sampurna tur Dirghayusa, pradnyan maring Tattwa Aji)
4. Rudra : Jingga (Dharma Sira tur susila jana nuraga ring Bhumi)
5. Mahadewa : Kuning (Tut sira sura ring rana, prajurit watek mangaji)
6. Sangkara : Hijau (Teleb ring tapa brata, gorawa satya ring budhi)
7. Wisnu : Hitam (Sudira suci laksana, surupa lan sadhu jati)
8. Swayambhu : Biru (Paripurna santha Dharma, sudha,sidhi sihing warga)
9. Siwa : Pancawarna (Gung prabhawa sulaksana. Satya brata tapa samadhi)

Penggunaan gelang tridatu yang mulai demikian memasyarakat di kalangan umat Hindu, tentu saja secara sosial bisa menjadi Identitas kehinduan, sekaligus secara religius bisa menjadi media untuk selalu eling atau ingat akan Hyang widhi. Sekaligus mengingat siklus kehidupan di dunia ini, Lahi-Hidup-Mati. Sepertihalnya sabda kitab suci ‘Prasantha manasam hy enam, yoginam sukham utamam’ Artinya orang yang yakin dan selalu ingat memusatkan diri pada Hyang Widhi akan mendapatkan ketenangan bathin.

Mantra Puja Trimurti :
Om Brahma wisnu Iswara dewam,
Jiwatmanam trilokanam,
sarwa jagat pratistanam,
sudha klesa winasanam.



Retrieved from :

Selasa, 21 April 2015

AKAR BAHAR atau ULI

AKAR BAHAR atau di Bali di sebut dengan ULI adalah jenis tanaman di bawah permukaan laut yang diyakini oleh masyarakat kebanyakan memiliki kekuatan dan daya magis tertentu. Banyak masyarakat yang meyakini dan percaya bahwa akar bahar mampu membendung dan menetralisir beberapa penyakit yang datangnya dari tubuh kita sendiri, maupun penyakit kiriman lawan atau kasarnya ilmu sihir yang di kirim dengan menggunakan mantra dan fasilitas yang tidak masuk di logika kita sebagai manusia yang buta dengan ilmu sihir. 

Semoga ada manfaatnya buat sahabat yang begitu mencintai akar bahar sebagai hiasan tangan maupun sebagai media penyambung batin spiritual.

  1. Uli Waringin Sungsang : uli ini warnanya hitam combong,tumbuhnya di gua2 yang sangat terjal dan sulit dijangkau manusia.Uli ini posisi tumbuhnya tidak lazim, batang dan daunnya terbalik menjulur kebawah, akar nya menancap kuat di dinding bagian atas. Fungsi uli ini baik dipakai sebagai pelindung dan penarik energy positif,sebagai sarana untuk membuat jimat penjaga rumah.
  2. Uli Sutra Emas : uli ini cirinya coklat kuning keemasan. Fungsi uli emas ini baik dipakai sebagai cincin atau gelang mampu mempengaruhi batin yang dalam amarah, menentramkan jiwa yang kalut, membawa ketenangan saat pemakainya bermeditasi, menangkis aura negative dan sihir.
  3. Uli Hitam : uli hitam ini yang paling banyak ditemukan, fungsinya baik untuk menstabilkan jiwa dan batin dalam perjalanan jauh, penetral rematik.
  4. Uli Brahma : uli ini cirinya hitam kemerahan, dan ada yang merah Kristal ( agak langka) fungsi uli ini baik di pakai sebagai penentram batin, membawa aura wibawa, mengurangi rasa sakit rematik.
  5. Uli Brumbun : ciri uli ini hitam-putih-coklat-kemerahan dan bercorak. Fungsi uli ini menentramkan batin, menarik energy gaib disekitar pemakainya.
  6. Uli Putih : cirinya warna uli ini putih, kegunaanya baik dipakai sebagai hiasan rumah, mampu memantulkan aura gaib, baik di pakai obat sakit perut, caranya direndam di air panas selama beberapa menit dan air rendamannya diminum.
  7. Uli Cemara Gadung : ciri uli ini coklat, bercorak seperti batik, uli ini baik untuk penetral energy negative bila ditempatkan di ruangan tamu bisa membuat pemilk rumah selalu dalam ketentraman.
  8. Uli Gringsing : ciri uli ini putih beruas hitam ( mudah patah ) baik ditempatkan di dalam rumah untuk menetralisasi energy negatif yang ada. Bisa direndam di air panas untuk obat sakit perut.
  9. Uli Bulu Macan ( Tali Arus ) : ciri uli ini lurus tanpa cabang, putih bercorak coklat. Uli ini baik sebagai penetral energy negatife, untuk seorang penekun spiritual uli ini bisa di pakai untuk mendeteksi pasien yang kesurupan atau di rasuki makhluk gaib.
  10. Uli Gadang ( kulit merah ) : ciri uli ini abu abu kehijauan (tumbuh di laut Indonesia ) kegunaanya baik dipakai sebagai penjaga diri, penetral energy gaib yang bersifat jahat, bisa dipakai sebagai sarana obat sakit perut,dan kalau digunakan sebagai cincin mampu menjaga energy pemakainya agar tidak terpengaruh dalam lingkaran hal2 yang tidak baik.
  11. Uli Gadang ( kulit coklat keemasan / aslinya dari new Zealand ) : ciri uli ini coklat kehijauan berkilau seperti bulu merak. Biasanya ukurannya tidak begitu besar kira-kira seukuran batang korek api (yang seukuran sebatang rokok langka ) kegunaan uli ini baik sebagai penjaga diri/pemakainya, penetral dan penawar racun, menangkis energy negatif dan mampu melindungi serangan ilmu gaib.
  12. Uli Gadang ( kulit abu abu kehijauan ) : ciri uli ini abu abu kehijauan (hijaunya berkilau ) tumbuh di sekitar laut nusa penida. Ukuran uli ini jarang yang besar, biasanya seukuran korek api, fungsi uli ini baik digunakan sebagai pengasih, penetral dan penarik energy gaib, mampu memberikan aura positif bagi pemakainya, melindungi dari serangan ilmu gaib.
  13. Uli Gadang Sirip : ciri uli ini coklat kehijauan, agak pipih dan bercabang di kedua sisinya ( seperti sirip )tumbuh di laut Indonesia. Kegunaan uli ini baik dipakai sebagai penjaga diri ( dipakai sebagai jimat ) penangkal /penawar racun dan panas dalam, penarik energy gaib.
  14. Uli Gadang Dragon : ciri uli ini coklat kehijauan, bergerigi di hampir semua batangnya, tumbuh di laut Indonesia. Fungsi uli ini baik dipakai pengasih, penetral dan penawar racun, penarik energy positif. Digunakan sebagai cincin permata atau di taruh dalam dompet.
  15. Uli Gadang Kristal Abu : ciri uli ini abu abu kehijauan, agak Kristal berbintik hitam, tumbuh disekitar laut Indonesia. Fungsi uli ini baik sebagai penjaga diri, penawar dan penetral dari mara bahaya, penawar racun ,dan penarik energy gaib.
  16. Uli Gadang Kristal Hijau : ciri uli ini warnanya abu abu kehitaman ( berkilau hijau ) tumbuh disekitar perairan laut Indonesia. Fungsi uli ini baik dipakai sebagai penarik energy gaib, penetral hawa gaib jahat, penawar racun dan panas dalam.
  17. Sadi Putih : ciri uli ini berwarna putih, berkilau kalau di gosok dan kurang keras . Fungsi uli sadi ini baik digunakan sebagai cincin atau gelang dan bisa menangkis serangan ilmu hitam dan aura jahat. Mampu menarik energy gaib yang positif.
  18. Sadi Sulaiman : ciri uli sadi sulaiman ini putih kecoklatan, bercorak dan berkilau kalau digosok agak keras. Fungsi uli ini baik dipakai sebagai tongkat atau gelang mampu menarik energy positif dan senantiasa membuat pemiliknya terlindungi dari serangan ilmu hitam.
  19. Sadi Hitam : ciri uli sadi hitam ini hitam berkilau kalau di gosok dan uli ini sangat keras, baik digunakan sebagai gelang atau tongkat dan berfungsi sebagai penarik energy dan aura gaib disekitarnya, penjaga diri dari serangan ilmu gaib.
  20. Kewahwah Arungan : ciri uli ini hitam lurus mulus berlubang. Sifat uli ini sangat reaktif terhadap energy negativ baik dipakai sebagai gelang atau batu cincin dan fungsinya sebagai pelindung untuk di gunakan pada anak kecil.
  21. Kayu Ikut Pai : ciri nya hitam tak beraturan dan berlubang. Baik di pakai sebagai gelang atau permata dan mampu menarik energy positif, penjaga diri dari serangan gaib.

Sabtu, 07 Februari 2015

Rudraksha

Introduction
Rudraksha word is related to Hindu Religion. Rudraksha tree and seed both are called Rudraksha. In Sanskrit Rudraksham means Rudraksha fruit as well as Rudraksha tree.

One who removes darkness or ignorance Rudraksha meaning-the eye of Rudra [Shiva] is considered to be the most potent manifestation of the Cosmic Force. Hence Rudraksha is the object of veneration and also the source to reach the higher self. Rudraksha is often believed to symbolize the link between the earth and the heaven. These beads are the seeds of the Rudraksha fruit obtained from Rudraksha trees. The Rudraksha tree is botanically known as ELAEOCARPUS GANITRUS ROXB. Its English name is UTRASUM BEAD TREE.

From ancient times, the power of Holy Rudraksha beads have been scripted in various religious texts like ShivmahaPurana, Shreemaddevibhagwat, Padma Purana, ling Purana etc.

For thousands of years Rudraksha beads have been worn by mankind for good health, religious attainment through Japa and Shakti (power) and for fearless life. Saints and sages roaming in forests have lived healthy, fearless and a full life by wearing Rudraksha and its Mala. There is no saint, God incarnation, who can be identified without these vibrant Rudraksha beads or Mala. Since ages Rudraksha have been tested and worn by Yogis and Saints and they found these beads to be very useful for excellent health and spiritual attainments. The power of Rudraksha is felt quickly and effectively by the persons who are devoted to religion, have strong belief in God and surrender to complete Vedic life style. Others who are Gurumukhi (blessed by Spiritual master) feel the Rudraksha effects very quickly and effectively. The common mass can get best results if they tend to adopt the Vedic life style and do regular Japa Practices.

Rudraksha, which is a divine form of Lord Shiva, has enormous hidden power and can be invoked by Yogic Practices and Mantra power. This Rudraksha is closest to Shiva's heart. It is extremely sacred. It is said that by the virtue, touch and worshipping of Rudraksha brings about destruction of all evils.

Rudraksha is a fruit, which is covered with pulp and a thin outer skin. The skin is green in color like banana skin. But when plucked from the tree and allowed to remain, as it is, the colors of the skin become blackish blue. The diameter of the seed is up to 1 inch (2.54 cm) and is nearly round in shape. There are clefts called Mukhi on the surface of the beads. The number of Mukhi on the surface of a Rudraksha beads helps in determining its quality. According to the number of Mukhi the Rudraksha bead ranges from single face to a several faced bead. Asians have used Rudraksha beads traditionally. Asian Yogis and Monks found that merely wearing the Rudraksha beads gave them astonishingly tremendous amount of tranquility, concentration that helped them meditate for a long period of time with spectacular control over their mind.

Rudraksha as per Ayurveda strengthens the body constitutions. It removes the blood impurities, bacteria inside as well as outside human body. Rudraksha cure headache, cough, paralysis, blood pressure, heart disease and maternity problems. Rudraksha invokes a power in the body which fights against all disease, so it improves overall health. Rudraksha rosary is used for Japa which increases spiritual power and confidence to move successfully in all directions of life. Therefore Rudraksha seed are found useful both for health and spiritual attainments.

Legends
Rudraksha subsist by the tear of lord Siva. According to the religious text Devi Bhagwat Puran there was a Demon known as Maya who was very strong and had divine energy and power. Due to these qualities he became proud and started to trouble deities and sages. No one was able to defeat this strong demon in war. He built three towns of three different metals. Towns were built by gold, silver and iron. These towns were non-destroyable and known as Tripur. After ruling these towns by him and his two brothers he was known as Tripurasur. He started crusade against gods and easily own battle against god's king Indra. He looted angles, power and treasure of god and ruled Eden. Being helpless and powerless Indra and other gods went to beg help from Bramha. Lord Bramha gave advice to them that he could not beat Tripurasur and went to beg help from Lord Vishnu. Lord Vishnu also told them that he also cannot beat Tripurasur and suggested them to beg help from god's god Shiva. All gods including Bramha Vishnu went to beg help from lord Shiva to destroy Tripurasur and his non-destroyable towns.
Bramha, Vishnu and all gods started to state their grief to lord Shiva and prayed to ruin Tripurasur and his towns. Shiva as always ready to help his devotees reveal all gods that he will ruin Tripurasur. He ordered to build a special chariot to executed demon Tripurasur. Chariot was made of earth; wheel was made of sun and moon, Lord Vishnu himself became arrow of Shiva's arch and the lord Bramha drove chariot.
After the completion of the chariot Lord Shiva lead with Bramha, Vishnu, Indra and all gods to battle and destroy Tripur. He reached the place where he can destroy Tripur by one arrow. In that time Shiva took Rudra (anger) pose. When he was ready to burst the arrow all gods became so happy and start to pray. Lord Shiva execute arrow and ruin Tripur and demolish all devil.
After the demolition of Tripur lord Shiva, Bramha, Vishnu, Indra and other gods went to Himalayas to get rest. Lord Shiva closed his eyes and meditated for some time. When he opened his lotus shaped eyes tears fell from them on the earth. Those tears decent over Sitsail hill. Sometime after those tears became rudraksha trees. The fruits that grow on this tree are known as Rudraksha Beads.

Identify Rudraksha
Are there any definitve Tests...?
Unfortunately, no. There are no definitive tests to test the authenticity of a Rudraksha except the discerning eye of an expert. When looking at the bead carefully, you'll find various deep dug lines separating the various faces of the Rudraksha bead. Ironically, humans have known to use their 'extreme skill' and try to 'carve' lines into the Rudraksha or 'wipe' them off, in order to change the faces or 'Mukhis' of the bead... i.e. 'alter' it according to their demands. It is extremely difficult to tell a genuine and a spurious Rudraksha apart, but the discerning eye of an expert can spot these 'manual interventions' and declare whether or not the Rudraksha has been tampered with.

But even within different Rudrakshas, there are some which are far more powerful than others. The criterion of selecting the right bead is not a simple one. It is a definite " Kriya " which the saints used to do to find out powerful Rudraksha and then they use it for Energizing. Experts must examine each bead and find the right ones. Then each bead must be purified thru' ancient rituals and definite kriya which lasts for around 41 days. After purification, one can wear it on a very auspicious day.

Rules to Wear
Someone desire seriously to come out of unwanted habits and live a life of purity can wear Rudraksha's and may find themselves free soon after wearing it . This has happened to many. It may happen to you also, if you will strongly.
Rudraksha power is more than any gems, yantra, tantra, mantra and Jantra.
In general the wearer and the worshipper of Rudraksha is blessed with prosperity, peace and health. Yet there are certain precautions to be taken to avoid the gain of sins. These precautions are such as:-

  • Rudraksha must be worn after Sidhhi (method of purification & charging with Mantra), performing the prayers and ritual rites for its sanctification and Hawanet etc. It should be worn on auspecious day, Monday or thursday.
  • Rudraksha Mantra and Rudraksha Origin Mantra is to be chated daily 9 times while wearing in the morning and after removing before going to bed. Rudraksha must be removed before going to sleep and must be kept at the puja place.)
  • Rudraksha can be worn in the morning after having Bath. It can be worn after reciting the mantra as above and inscence/ ghee lamp etc must be used. It must not be touched before bathing. One should clean his hands properly after using toilet.
  • The wearer of the Rudraksha should not eat non vegiterian food and should not take alcohol. He should speak truth always and must go to Lord Shiva temple for his blessings.
  • Rudraksha must not be taken to the cremation grounds and funerals. Also it must not be taken to the place while visiting a new born baby.
  • NEVER wear the Rudraksha while having sex.
  • WOMEN must not wear the Rudraksha during their menstrual cycle.
  • ALWAYS keep your Rudraksha clean. Dust and dirt can settle in the pores of the bead. Clean these as frequently as possible with something with soft, fine bristles. If the thread becomes dirty or worn out, change it. After cleaning, wash your Rudraksha with some blessed holy water. This helps maintain its sanctity.
  • ALWAYS keep the Rudraksha oiled... After regular cleaning, oil the bead and treat it with incense. This is of UTMOST importance. especially when not using the bead for sometime, or storing it for a while.
  • Many get confused with the shape and size. One should not seriously worry about it. Just see that the Mukhi is well defined, corns and contours are natural, and there are no cracks near the central hole. Normally the buyer gets a feel when Rudraksha is kept in the palm. He/She feels that this is the one which was wanted.
  • Rudraksha is hot in nature. Some people just can't wear it. Their skin shows signs of allergy. They can never wear any gold, silver or thread chain. So better not to use. Keeps the beads in Puja room and offer daily Namaskars.


Blessings 
  • Choose an auspicious day and time for blessings.
  • Blessings may be done by the wearer, his Guru or a priest.
  • After bath, with a pure mind and body arrange the items for blessings.
  • Punchgavya - Mix of Cow's dung, urine, milk, ghee and curd. In absence use Punchamrit which is mix of unboiled milk, honey, sugar, ghee and curd.
  • Water mixed with Ganges water in a achamani pot with Kusha grass for sprinkling and a spoon.
  • 9 leaves of peepal tree arranged on a plate.
  • Plate for offerings to be placed during Puja.
  • Dhoop, Incense sticks.
  • Camphor and lamp.
  • Sandal paste , Aromatic oil.
  • Rice grains mixed with asthagandha.
  • Ghee lamp (one wick).
  • Offerings - Cloth, Flower, Fruit, Betel nut - Pan, Coconut.
  • Sit on an Aasan facing east.
  • Wash Rudraksha with Punchgavya or Punchamrit.
  • Then wash with water mixed with Ganges water.
  • Place Rudraksha in a plate with 9 leaves of Peepal tree. Place an empty plate in front of this plate for offerings.

Mukhi Rudraksha

Rudraksha : 1 Mukhi 
Ruling God : Shiva
Ruling Planet : Sun
Beeja Mantra : Om Hreem Namah
Major Benefit : The One Mukhi Rudraksha is the symbol of UKAR which is formless, depthless, shadowless, Godhood, Supreme Truth & Attainment of Eternity who has created this entire world. It belongs to Shiv UKAR and keeps the balance of the universe.

Rudraksha : 2 Mukhi
Ruling God : Ardhnareeshwar
Ruling Planet : Moon
Beeja Mantra : Om Namah
Major Benefit : Symbol of ArdhaNareeshwara, a joint image of the Lord Shiva and Goddess Parvati (Shakti). Being capable of getting riches and virtuous off springs by wearing two faced Rudraksha.

Rudraksha : 3 Mukhi
Ruling God : Agni
Ruling Planet : Mars
Beeja Mantra : Om Kleem Namah
Major Benefit : Symbol of Three Deva i.e. (Brahma, Vishnu and Mahesha). Best for those who have fallen prey to   inferiority complex or fear stricken and suffer from self hatred or mental strain.

Rudraksha : 4 Mukhi
Ruling God : Brahma
Ruling Planet : Mercury
Beeja Mantra : Om Hreem Namah
Major Benefit : Symbol of four Veda. The power of Brahma exists in its whole effectiveness and Divinity. It increases wit and intelligence. In mythology it represents Goddess Saraswati and Brahma.

Rudraksha : 5 Mukhi
Ruling God : Kalaagni Rudra
Ruling Planet : Jupiter
Beeja Mantra : Om Hreem Namah
Major Benefit : Symbol of Five Pandava. It is the form of Rudra named Kaalagni. Controls five elements i.e. Agni (fire), Jal (water), Vaayu (Air), Aakash(sky), Prithvi(Earth) in the body of the wearer therefore kills all diseases in all the weathers.

Rudraksha : 6 Mukhi
Ruling God : Kartikeya
Ruling Planet : Venus
Beeja Mantra : Om Hreem Hum Namah
Major Benefit : Related to Six Darshan. It keeps the anger, jealousy, excitation under control in the body of the wearer. It increases the nutritious elements of the Body resulting in the creation of new cosmic powers (Devi Shakti).

Rudraksha :  7 Mukhi
Ruling God : Mahalaxmi
Ruling Planet : Saturn
Beeja Mantra : Om Hum Namah
Major Benefit : Related to Seven Seas. Symbol of Anang Shiva. It represents Goddess Maha Laxmi. Good health and wealth is blesses to him who wears Seven Faced Rudraksha.

Rudraksha : 8 Mukhi
Ruling God : Ganesh
Ruling Planet : Rahu
Beeja Mantra : Om Hum Namah
Major Benefit : It is like eight mountains and has power of mountains. It is the second form of reflection of the first son of Lord Ganesh and is one who is worshipped prior to other gods.

Rudraksha : 9 Mukhi
Ruling God : Durga
Ruling Planet : Ketu
Beeja Mantra : Om Hreem Hum Namah
Major Benefit : Related to Nau Kuli Naag (Nine Cobra). It is the form of the Goddess Durga (Shakti). It contains the power of Nine Deities. By wearing nine faced Rudraksha the man gets blessings from Durga Shakti, the Supreme Mother.

Rudraksha : 10 Mukhi
Ruling God : Vishnu
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Hreem Namah
Major Benefit : It is related to Laxmi Narayana and represents all the ten embodiments of him. It helps the wearer to overcome difficult times and ensures that the wearer and the family of the wearer is protected.

Rudraksha : 11 Mukhi
Ruling God : Hanuman
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Hreem Hum Namah
Major Benefit : This Rudraksha belongs to Eleventh Rudra i.e. Lord hanumaan ji and has power of mountains. It destroys thousands of enemies and protects the wearer from all tantric effects.

Rudraksha : 12 Mukhi
Ruling God : Sun
Ruling Planet : Aum Kraum
Beeja Mantra : Sraum Raum Surya Namah
Major Benefit : Belongs to Twelve Panth. It is the Centre of Brilliancy and Luster and Radiance and Strength of 12 forms of the God The Sun SURYA.

Rudraksha : 13 Mukhi
Ruling God : Indra
Ruling Planet : Venus
Beeja Mantra : Om Hreem Namah
Major Benefit : Belongs to Thirteen Ratna (Gems). The wearer of this Rudraksha becomes intelligent, powerful, free from diseases, good spouse, sons and daughter.


Rudraksha : 14 Mukhi
Ruling God : Hanuman
Ruling Planet : Saturn
Beeja Mantra : Om Namah
Major Benefit : Belongs to Fourteen Vidhya (Art or skill). Wearer of this Rudraksha get success in all of his   works. It makes the wearer sharp and intelligent.

Rudraksha : 15 Mukhi
Ruling God : Lord Pashupati
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Namah Shivaya
Major Benefit : Related to fifteen tithi (i.e.; Indian calendar dates). Wearer get success on all the seven days of the week in his all ventures. He attains power and success in all of his works.

Rudraksha : 16 Mukhi
Ruling God : Victory
Ruling Planet :None
Beeja Mantra : Om Namah Shivaya
Major Benefit : Related to Sixteen Kala (i.e.; attainments and Siddhi). Invokes 16 Kala of Moon in the wearer and opens the passage of 16 attainments. He attains 16 Siddhis and attainments.

Rudraksha : 17 Mukhi
Ruling God : Vishvakarma
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Namah Shivaya
Major Benefit : Related to Mother Seeta. Gives the wearer all kind of comforts, leisure and happiness. It provides the wearer with Gold.


Rudraksha : 18 Mukhi
Ruling God : Mother Earth
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Namah Shivaya
Major Benefit : Related to Eighteen types of Vanaspati (herbs) in the Body. Protects the wearer from all kinds of evils and problems and removes laziness and excessive sleep

Rudraksha : 19 Mukhi
Ruling God : Lord Narayana
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Om Namah Shivaya
Major Benefit : Related to Lord Shiva, Goddess Parvati and Lord Ganesha. This Rudraksha provides comfort of money, wife, sons and daughters.


Rudraksha : 20 Mukhi
Ruling God : Vishwasu Sadhu & Narayan
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Hidden
Major Benefit : Related to Vishwasu Sadhu Prani. Lord Shiva opens the power of truth for his words. It is a very powerful antidote for Saturn miseries.


Rudraksha : 21 Mukhi
Ruling God : Ek Alakh Niranjan that is Omkar
Ruling Planet : None
Beeja Mantra : Hidden
Major Benefit : Related to Ek Alakh Niranjan. It is the creator and do preservation of the universe.



Rudraksha : Gauri Shankar
Ruling God : Shiva & Parvati
Ruling Planet : Moon
Beeja Mantra : Om Shree GauriShankaraya Namah
Major Benefit : Regarded the best for peace and comfort in the family. If a man worships Gauri Shankar at his worshipping place, the pain and suffering and other earthly obstacles are destroyed and the peace and pleasure of family are increased.


Choosing your Rudraksha Combination
Choosing Rudraksha by Purpose
Power Pendants and Power Malas Section have been designed by combining the rudraksha of similar properties that solve a particular purpose and have been tested by feedbacks from the people to be very effective.

Power Combination : Saraswati Pendant for Students 
Rudraksha : 2 Nos. of 4 Mukhi + 1 No. of 6 Mukhi

Power Combination : For Unity of family (Family Bliss Pendant)   
Rudraksha : 2 Nos. of 2 Mukhi + 1 No. of Gauri Shankar

Power Combination : For every sort of Business   
Rudraksha : 6 Mukhi + 8 Mukhi + 12 Mukhi

Power Combination : For Iron, Chemical Process and Clothes Business   
Rudraksha : 6 Mukhi + 8 Mukhi + 15 Mukhi

Power Combination : For Females in Business   
Rudraksha : 6 Mukhi + 8 Mukhi + 9 Mukhi

Power Combination : For Attraction of Wealth and Prosperity   
Rudraksha : 2 Nos. of 6 Mukhi + 13 Mukhi

Power Combination : For Early Marriage   
Rudraksha : 2 Mukhi + 5 Mukhi + 7 Mukhi

Power Combination : For Politicians   
Rudraksha : 8 Mukhi + 12 Mukhi + 16 Mukhi

Power Combination : For Administrators
Rudraksha : 3 Mukhi + 4 Mukhi + 16 Mukhi

Power Combination : For Advocates   
Rudraksha : 4 Mukhi + 6 Mukhi + 8 Mukhi

Power Combination : For Doctors and Surgeons   
Rudraksha : 4 Mukhi + 9 Mukhi + 12 Mukhi

Power Combination : For Meditation and Yoga Practices 
Rudraksha : 1 Mukhi + 9 Mukhi + 11 Mukhi

Power Combination : For Protection (Males)   
Rudraksha : 2 Nos. of 3 Mukhi + 11 Mukhi

Power Combination : For Protection (Females)   
Rudraksha : 9 Mukhi

Power Combination : Power Bracelet for Power, Protection and power of Speech
Rudraksha : 3 No. of 4 Mukhi

Power Combination : For opening Intution power and 6th sense   
Rudraksha : 2 Nos. of 3 Mukhi + 14 Mukhi

Power Combination : For perfect Health (Health Power Pendant)   
Rudraksha : 3 Nos. of 3 Mukhi + 2 Nos. of 5 Mukhi + 12 Mukhi

Power Combination : For Marketing Persons (Marketing Power Pendant)   
Rudraksha : 7 Mukhi + 8 Mukhi + 12 Mukhi

Power Combination : For Power of 3 Deva (Siddha Kavach) 
Rudraksha :4 Mukhi + 5 Mukhi + 10 Mukhi

Power Combination : For Kaal Sarp removal (Kaal Sarp Pendant)   
Rudraksha : 2 Nos. of 8 Mukhi + 9 Mukhi

Power Combination : For Saturn Sade Sati removal (Saturn Sade Sati Pendant)
Rudraksha : 2 Nos. of 7 Mukhi + 11 Mukhi

Power Combination : For Nav Griha (9 Planets) Pacification
Rudraksha :2 Mukhi to 9 Mukhi + 12 Mukhi

Power Combination : Siddha Mala   
Rudraksha : 1 Mukhi to 14 Mukhi + Gauri Shankar + Ganesh Rudraksha




Choosing Rudraksha by Therapy

Theraphy : Heart, spine, diaphragm, thymus, blood, veins, eye sight
Rudraksha : 1 Mukhi, 12 Mukhi

Theraphy : Stomach including gastric processes, breasts, lymphatic and non blood fluid systems, perspiration and saliva and sympathetic nervous system Rudraksha : 2 Mukhi

Theraphy : Hands, arms, lungs, sensory organs, thyroid glands, brain disorders
Rudraksha :  4 Mukhi

Theraphy : Throat, neck, kidneys, sex organs, thyroid glands
Rudraksha :  6 Mukhi, 13 Mukhi

Theraphy : Sex glands, adrenal glands, red blood cells, stomach disorders, blood pressure disorders  
Rudraksha :  3 Mukhi

Theraphy : Liver, gallbladder, posterior lobe of the pituitary related to growth and thighs, blood pressure disorders Rudraksha : 5 Mukhi

Theraphy : Spleen, skeletal system including cartilage, skin, lower leg from the knee to the ankle and anterior lobe of the pituitary gland
Rudraksha : 7 Mukhi, 14 Mukhi

Theraphy : Skin problems, body pain
Rudraksha : 9 Mukhi

Theraphy : Sleep disorders
Rudraksha : 8 Mukhi

Theraphy : Nervous system disorders
Rudraksha : 11 Mukhi


Therapy
The different parts of the Physical Body are governed by specific planetary principles. For example the knees, spleen and skeletal system are strongly influenced by the planet Saturn.

In Astrology they say that these parts of the body are " governed" by the Saturn principle.

To better know the principals behind Rudraksha Physical Therapy Recommendations here is how various organs are related to celestial bodies, along with their appropriate Rudraksha and Mantra that have the greatest influence on that part of the body.

Although different people will experience effects at different times a 40 day Discipline is a required minimum to properly feel the effects of Rudraksha Therapy.

Organ :  Heart, spine, diaphragm, thymus, blood and veins
Ruling Planet :  Sun
Mantra : Om Sri Suryaya Namah
Rudraksha : 1 & 12 Mukhi

Organ : Stomach including gastric, processes, breasts, lymphatic and non blood fluid systems, perspiration and saliva and sympathetic nervous system
Ruling Planet : Moon
Mantra : Om Shri Chandraya Namaha
Rudraksha : 2 Mukhi

Organ : Hands, arms, lungs, sensory organs, some thyroid gland influence
Ruling Planet : Mercury
Mantra : Om Sri Budhaya Namaha
Rudraksha : 4 Mukhi

Organ : Throat, neck, kidneys, secondary connection with sex organs and feet, some thyroid gland influence
Ruling Planet : Venus
Mantra : Om Shri Shukraya Namah
Rudraksha : 6 & 13 Mukhi

Organ : Sex glands, adrenal glands, red blood cells
Ruling Planet : Mars
Mantra : Om Shri Angarakaya Namah
Rudraksha : 3 Mukhi

Organ : Liver, gallbladder, posterior lobe of the pituitary related to growth and thighs
Ruling Planet : Jupiter
Mantra : Om Shri Gurave Namaha  
Rudraksha : 5 Mukhi  

Organ : Spleen, skeletal system including cartilage, skin, lower leg from the knee to the ankle and anterior lobe of the pituitary gland related to body type
Ruling Planet : Saturn
Mantra : Om Sri Shanaishwaraya Swaha  (For persons aged 29 and older)
Rudraksha : 7 & 14 Mukhi

Organ : Spleen, skeletal system including cartilage, skin, lower leg from the knee to the ankle and anterior lobe of the pituitary gland related to body type
Ruling Planet : Saturn
Mantra : Om Shanaishcharaya Namaha  (For persons under age 29)
Rudraksha : 7 & 14 Mukhi


Facts 

Q: What is Rudraksha ? 
Rudraksha word is related to Hindu Religion. Rudraksha tree and seed both are called Rudraksha. In Sanskrit Rudraksham means Rudraksha fruit as well as Rudraksha tree. Rudraksha tree grows on mountains and hilly region of Nepal, Indonesia, Java, Sumatra and Burma. Its leaves are green in colour and the fruits are brown in color and sour in taste. The Rudraksha fruits also adorn the human beings because of spiritual values.

Q: Why it is so important ? What is its relevance ? 
Found in Ancient Indian Scriptures and texts: From ancient times, the power of Holy Rudraksha beads have been scripted in various religious texts like ShivmahaPurana, Shreemaddevibhagwat, Padma Purana, ling Purana, Ashtamalikopnishad, Nirnayasindhoo, Mantramaharnava, Mahakaal Sanmhita, Rudrakshajabalopnishad, Vrihajjabalopnishad, Shivaswarodaya and Sarvollastantra.

As per ancient Indian scriptures mentioned above Rudraksha is evolved from the eyes of Lord Shiva hence, it's called Rudraksha. Rudra means Shiva and Aksha means eyes. Aksha also means a group of alphabets in Sanskrit called Varna). As per details found in Halayudh Kosha(Ancient Scripture) letters from A to ksha that is 51 letters are called Aksha . Therefore, Rudraksha can be called as a seed in which a group of Sanskrit letters called Varna reside.
Q: What is Mukhi or Multifaceted Rudraksha ? 
As per details found in the Purana there are fourteen kinds of Rudraksha, which are called Mukhi or faceted Rudraksha. Mukhi or faces of Rudraksha are deep lines found on the surface of the Rudraksha from bottom to the top hole. The number of these lines decides about the type or Mukhi Rudraksha. For example, if a Rudraksha has three such lines it is called 3 Mukhi or 3 face Rudraksha.Other handwritten Scriptures found with various saints narrate the properties of 1 to 21 Mukhi Rudraksha. It is believed that these beads were available in the ancient time from 1 to 108 Mukhi. Now they have become most rare Natural thing.

Q: What is Mala or Rudraksha Rosary ? 
Rosary made out of Rudraksha Beads in the auspicious numbers like (108+1, 54+1, 27+1) is called Rudraksha Mala. The +1 bead is called as Sumeru(it is not crossed while chanting) which is considered as boundary for returning in reverse direction for further counting. Mala is used for wearing as well as for purpose of Japa (Chanting Mantra for Spiritual attainments). It is used to count Mantra in the above figure (108,54,27). The same Mala is not used for wearing as well as Japa. Mala rests on ring finger and middle finger is used for Japa. Index and smallest finger are considered as inauspicious for touching the Mala during Japa process. Rudraksha Rosary is considered as the only Rosary, which can be used for Japa of all kinds. The details found in the scriptures say that Rudraksha rosary should be worn after proper sanctification with Mantra.

Q: Is it for me ? Its advantage for human ?
Perfect for Body, Mind & spiritual gains: Rudraksha evokes power in the body, which fights against diseases hence improving overall health. As per Ayurveda, Rudraksha strengthens the body constitutions. It removes the blood impurities and strengthens the body substance. It removes the bacteria inside as well as outside the Human Body. Rudraksha removes the headache, cough, paralysis, and blood pressure, heart disease and maternity problems. Wearing of Rudraksha brings glow on the face, which results in calm and charming personality. Rudraksha rosary is used for Japa. The process of Japa increases spiritual power and self-confidence to move in multi direction of life. Therefore, Rudraksha seeds are found be useful for providing health benefits as well as helps in gaining spiritual success. Wearing Rudraksha results in the destruction of sins from previous birth that cause difficulties in the present life. The men who are Mlechchha, chandaal (impious and inhumane) or full of all kinds of vices can get the form of Lord Rudra by wearing Rudraksha. This helps in getting rid of all the sins and gets him to attain the supreme goal of his life.

Q: Does it have any Zodiac significance or relation ? 
As per the modern Astrologers; Rudraksha is used for removing malefic planetary effect. There are twenty seven Constellations. Each has control of one of the Nine Planets. Each constellation is controlled by some related Rudraksha. Therefore according to these constellations, various multifaceted Rudraksha are worn (Control planets) and is found useful in multidiscipline. The Multifaceted or Mukhi Rudraksha which has various planets residing on it, always receive energy from related planet. Its power of receiving energy is tremendous and it works like a reservoir. It not only receives energy, it is also known for emitting energy continuously. We have never come across any ancient authentic text which describe any relation between Rudraksha and planets; of course it is very clear that these Beads are above and beyond the control of any planetary effect or power.

Q: Is it spiritual or removes evil and negative effect ? 
Rudraksha is considered to be a spiritual bead. Used since ancient time for increasing the spiritual power, self confidence, courage and for building a positive attitude in multidiscipline area. As per the ancient Indian scripture like Purana, it is well known that Each Rudraksha is linked with Particular deity. This Positive Power in terms of Deva or Devi always protects the wearer from Negative Powers and enmity and provides a powerful shield against all negativities.

Q: Why it is considered as important for success in meditation ? 
The word Rudraksha has great importance as far as Indian culture as well as Hindu religion is concerned. This is due to its relation with Lord Shiva who is lord of all Deva( so called Mahadeva) and its role in meditation and spiritual attainments.

Q: Do the Rudraksha Really work ? 
Rudraksha definitely works unless it is Genuine, Not broken from its head and tail. It must be purified, sanctified and energised with the help of its Mantra. Otherwise it is as good as any other fancy Jewelry Pendant. Rudraksha becomes even more powerful and effective if more power is inserted through regular Japa and Hawan and through the ongoing process of retaining its power and sanctity.

Q: Are there any definitive tests ? 
Unfortunately, no. There are no definitive tests to test the authenticity of a Rudraksha except the discerning eye of an expert. When looking at the bead carefully, you'll find various deep dug lines separating the various faces of the Rudraksha bead. Ironically, humans have known to use their 'extreme skill' and try to 'carve' lines into the Rudraksha or 'wipe' them off, in order to change the faces or 'Mukhis' of the bead... i.e. 'alter' it according to their demands. It is extremely difficult to tell a genuine and a spurious Rudraksha apart, but the discerning eye of an expert can spot these 'manual interventions' and declare whether or not the Rudraksha has been tampered with.

Q: Do all the Rudraksha have the same power ? 
Every Rudraksha has unique properties and different power from other beads. Each has different deities residing in it depending upon the faces of the Bead. If the Rudraksha acquired is a Genuine Bead of good quality and it is properly sanctifies and energised with ancient technique of rigorous Mantra recitation and Hawan. It must be than safely reach to the person who intends to wear himself. The power is to be than maintained by the person himself following regular chanting of Rudraksha Mantra and practicing regular Hawan.

Q: How to get the maximum from my Rudraksha ? 
Now that you have got a Rudraksha that is empowered, you must try and maintain its power and get the maximum benefit from it. To get the maximum benefit from Rudraksha, you must have total belief and faith in them, and treat them as holy and sacred objects of worship and not as mere beads and understand their sanctity.

One should follow certain rules for maintaining its power and sanctity. The Rudraksha is a spiritual Gift from Lord Shiva; one should recite the Rudraksha Mantra daily after taking Bath in the morning and before going to bed in the night. One should not take the Rudraksha to inauspicious place e.g. Funeral place, cremation ground, where new born baby get birth.


Retrieved from rudraksham.com